Cerita Fiksi: Aing Perlu Pisan Software!

Cerita Fiksi: Aing Perlu Pisan Software!

By: _dzyemtri

#kilasan cerita

Berawal dari sebuah cakram DVD Double Layer yang dengan sengaja ditinggal pemiliknya di sebuah warung internet. Ditemukanlah DVD itu oleh seorang siswi SMA yang kemudian diberikan pada penjaga warnet tersebut. Dari sinilah sebuah cerita dimulai.

Di sana ada anak SMP kelas IX semester akhir yang biasa nongkrong di warnet itu. Ia tertarik dengan DVD yang diketemukan dimana berisikan file-file musik yg menurutnya menarik. Namun, apa yang terjadi, DVD yang semata dikiranya hanya berisikan file musik itu ternyata memuat sebuah data mencurigakan. Ia terlarut dalam rasa keingintahuan menggebu, memaksanya berpikir keras, bermain-main dengan insting dan logikanya.

Lalu apa yang sebenarnya?! Kita saksikan saja sama-sama.. Baca yow..!!

***

“A.P.P.S”

Aing Perlu Pisan Software!

Rasa-rasanya tiada yang mencurigakan hari ini. Nampak nada-nada kehidupan berbagai genre berbaur melebur mencetak instrumen saling membutuhkan. Seperti halnya seorang pria berumur antara 30-35an yang dengan tergesa-gesa memasuki sebuah warung internet.

“Ada yang kosong?!” tanya yang baru datang dengan terengah-engah, nafas tak teratur.

“Ada, meja nomer empat, sembilan, tiga belas dan dua puluh,” jawab penjaga warung internet yang berada di hadapanku.

Tak lama dari itu, ia pun meluncur mencari meja kosong untuk segera berselancar. Setelah itu, selepas yang datang tadi pergi dari hadapan. Kini tinggal kami berdua, aku dan si penjaga yang merupakan sepupuku juga.

Setengah jam berlalu, pria tadi menghampiri kami, “Permisi, mas. Ada spidol permanen?” ucapnya.

“Mm, kayaknya nggak ada tu, Pak,” jawab sepupuku sambil mencarinya.

“Sebentar, Pak. Kayaknya saya bawa. Ini,” ucapku sambil memberikan spidol itu.

“Saya pinjam dulu ya, Dek.”

“Ya,” kuanggukkan kepala.

Sesaat kemudian, “Ini spidolnya. Terima kasih.”

“Sama-sama, Pak,” balas kami berdua.

“Berapa?”

“Oh, sudah. Cepet banget, Pak.”

“Cuman ngecek e-mail doang kok.”

“Ooh..” tanggap kami.

“Nomor tiga belas, Pak. Mm.. 2.000.”

“Waah angka sial tuh!” ucapku.

“Hmm, tiada angka sial dalam hidup ini, Dek,” ucapnya padaku seraya tersenyum.

Jauh dalam hatiku yang ada bukan hanya senyum, namun juga tawa, “Hahaa kena jebakan gua nih.”

“Ini.” Pria itu memberikan uangnya.

“Ini kembaliannya.”

“Nggak usah. Sudah ambil saja, Mas.”

“Ih. Ini Pak.”

“Sudah. Ambil aja.”

“Terima kasih, Pak.”

Kami saat itu masih memperhatikannya. Handphonenya berdering, ia menerimanya, “Jangan ganggu saya lagi!” ucapnya dengan nada tinggi terdengar samar oleh kami. Kami masih melihatnya. Raut wajahnya muram penuh khawatir, ia buka bagian belakang handphone yang dipegangnya itu, mengambil SIM Card-nya dan langsung mematahkannya, plak, bunyi itu terdengar. Ia buanglah ke tempat sampah yang berada persis di dekat pintu masuk warnet.

Sedetak, dua detik, tiga detak, empat detik, waktu berjalan tak terhentikan. Aku masih memandanginya dan tiba-tiba saja sebuah mobil menyerobot menabraknya keras, suara hantamannya pun terdengar jelas. Ia terlempar beberapa meter. Bruk, ia terjatuh tak berdaya. Seketika itu pula kami berhamburan keluar hendak menolongnya. Prah, darah merah tertumpah dari tubuhnya. Sepupuku yang berada tak jauh dariku, kulihat ia gemetar, terdiam, tak bergerak, pandangannya kosong menatapi seseorang yang tertabrak bergelimangan darah merah segar, sepertinya mampu memikat vampir.

Seketika itu pula, bruk, sepupuku pun terjatuh. Diboyonglah ia kembali ke rumah olehku dan seorang lagi yang berada di tempat itu. Ia, yang memboyong sepupuku bertanya, “Dik, kenapa ini kakak kau? Kok malah pingsan.”

Lalu kujawab, “Mungkin syok kali melihat darah yang sebegitu wihh.. Ngeri aku.”

Ia berkata kembali, “Oh gitu. Beri wewangian tuh, biar cepet bangun kakak kau,” sarannya.

Aku mencari-cari, hm, aku tersenyum. “Bereslah, gampang itu mah,” ucapku.

“Ya udah kalo gitu mah saya ke sana dulu, ya Dek,” ucapnya.

“Ya. Terima kasih, Kang. Hatur nuhun.” kataku pada orang itu sambil bersalaman.

Kupandangi sepupuku. Kuambil kaos kaki lusuh yang ada di rak sepatu milikku yang mungkin sudah dua minggu kutinggalkan dan tak pernah dicuci. Kukibas-kibaskan dekat lubang hidungnya, “Eumm, sedaap.”

Ia tersadar juga. “Ihh, gak kira-kira kaos kaki bau dihadapkan ke muka gue yang lumayan ganteng ini. Sungguh terlalu, puih, puih, blaa,” ucap sepupuku yang baru tersadar sempat-sempatnya ia bercanda juga.

“Yah, mau bagaimana lagi, cuma itu yang kepikiran. Simple, elegant plus praktis, hehee. Nih minum air putih dulu,” ucapku menyodorkan segelas air kemasan. “Kak, saya ke sana dulu,” kataku lagi, sepupuku mengangguk.

Aku keluar. Kulihat tubuh lelaki yang tertabrak itu telah dibawa ke samping jalan. Tiba-tiba saja seorang bapak-bapak berteriak, “Eh, eh, eih.. Itu mobil yang nabraknya beut kabur. Euleuh-euleuh.. Borokokok teh. Kejar, cepetan kejar!” suaranya terdengar serak-serak namun tak basah.

Mobil bercat putih bernamakan ECNALUBMA berwarna merah yang dibalik pun tiba beberapa saat setelah bapak-bapak itu berteriak. Segeralah korban tabrakan itu untuk dibawa ke rumah sakit. Namun sayangnya ia meninggal sesaat setelah tubuhnya direbahkan di dalam mobil.

Setelah warga melapor, seketika itu pula Polisi langsung datang ke TKP. Untuk menggali informasi dari warga.

“Bapak tau nomor plat mobilnya berapa?” tanya Pak Polisi.

“Kayaknya, B 15… berapa lagi tuh. Lupa nggak jelas, cuma lihat sepintas,” jawab salah seorang warga.

“Sepertinya bukan nomor asli, Pak. Sekilas saya lihat depan belakang itu berbeda,” tambah seorang lainnya.

Aku kembali ke rumah pamanku yang sekaligus warnet itu. Samar ku dengar Pak Polisi masih melakukan pendalaman informasi.

“Udah mendingan?” tanyaku pada sepupuku.

“Yap,” ucapnya singkat. “Sorry ya, jadi ngerepotin,” ucapnya lagi.

“Ah enggak,” tanggapku.

Melintaslah di sampingku dua siswi SMA berseragam lengkap, “Ada yang kosong, A?” tanyanya.

“Ada,” jawab sepupuku.

Aku berdiri, berjalan menuju lemari pendingin hendak mengambil sebotol minuman bersoda namun tak ada, yang ada hanya air dingin biasa saja, “Ah, tak apalah,” ucapku pasrah terserah.

Sesaat kemudian, satu dari ke dua siswa tadi menghampiri kami, “A, ini saya temukan sebuah disk, mungkin milik pengunjung yang tertinggal,” katanya.

“Oh, iya, iya. Makasih.” Sepupuku menerimanya.

Aku asik-asik saja dengan minumku, tak mengindahkan percakapan mereka. Hanya fokus mengguyur keongkonganku yang kering ditiban hawa panas siang hari itu layaknya di gurun sahara, mungkin.

“Kang, sayah keluar dulu,” ucapku.

“Ke mana?” tanya sepupuku.

“Ke warung bentar mau beli minuman dulu,” ucapku.

“Kan tu udah minum!” sepupuku menunjuk gelas setengah kosong yang telah ku minum airnya hampir tiga gelas.

“Yaah, yang ini mah masih belum berasa. Nggak ada rasanya lagi,” ucapku seraya melangkah keluar.

Tak lama, aku pun kembali dengan membawa dua botol minuman bersoda. “Nih, Kak,” kutaruh minuman itu di atas meja sebelah monitor komputer.

“Okeh, disikat saja nya. Tengkiyulah,” sepupuku mengambil botol yang masih berasap dingin itu. Sruput, sruput, cairan bersoda itu migrasi dan takkan diminta tuk kembali.

Kulihat sebuah Cakram DVD Double Layer tergeletak berlabelkan ‘4357EN Lets play!’ tulisan tangan berwarna biru. Kumengambilnya, “Wah, musik bagus kayaknya nih. Ini DVD yang tadi itu kan?” kataku bertanya.

“Iya, yang tadi diberikan anak SMA itu,” sepupuku mengiyakan.

“Lihat atuh, isinya apaan,” pintaku.

“Sini deh lihat sendiri. Cuman lagu pop rock indonesia terbaru doang. Gak ada yang lebih,” kata sepupuku.

“Ya udah, copy aja, Kak. Kebetulan udah lama gak dengerin lagu indo,” tanggapku.

“Emang selama ini yang kau dengerin lagu-lagu apa aja woy. Lagu miliknya orang bule?” tanyanya.

“Ahh, enggak juga. Yaa, akhir-akhir ini lagi ngegandrungi lagu sundaan, hheu. Kayak miliknya kang Darso, Doel Sumbang saparakanca lah pokoknya mah,” jawabku apa adanya.

“Aeu, aeu, sundaan uyy, sinarieun. Jarang-jarang anak remaja kayak gitu. Eiy, gimana ini, copy disk saja, atau pilih beberapa?” kata sepupuku.

“Ada gak DVDnya?” tanyaku. Lalu ia jalankan sebuah aplikasi burning DVD.

“Ya ada, atuh. Langsung copy saja. Oke, ENTER?” ucapnya sambil memasukkan cakram DVD ke DVD Drive.

“Iya ENTER lah, masa ENTAR, hheu,” kataku menanggapi.

“Kak, aku ke meja 13 dulu ah. Masih ada yang make nggak?”

“Masih, anak SMA yang tadi kayaknya.”

“Owh, gitu.”

“Emangnya mau ngapain?” tanya sepupuku.

“Ah, mau tau aja. Biasalah mendulang hasil cetakan tuts keyboard. Tau kan.”

“Kau ini jail aja kerjaannya. Ntar kualat tauw. Sudah berapa banyak akun facebook yang kau kerjai?”

“Hehee. Baru juga dua puluhan.”

“Cieh, dua puluhan dibilang baru. Dasar bangsrath jejaring sosial.”

“Jangan kenceng-kenceng, Kak. Kalo kedengeran yang lain bisa gaswath yeuh.”

“Beres-beres. Duh, sepupuku ini, sadarlah. Urungkanlah cita-cita kau menjadi haiker.”

“Eh, ngeburnya udah beres? Lama banget kayak ngeburn sedisk DVD DL full aja.”

“Emang. Tungguin aja lah entar juga kelar. Mau ke mana gitu sepertinya buru-buru amat.”

“Ah, nggak. Cuman mau pulang ke rumah, ganti baju, nggak enak banget pake seragam sekolaan nongkrong di sini terus, malu ama anak-anak SMA.”

“Aeuh kau ini. Mulai begér euy.”

“Eh iya, kayaknya kakak ipar udah datang, udah nyampe rumah nih jam segini kalo nggak ada kendala di jalan mah.”

“Kakak ipar kau datang? Sampein salam dariku. Ntar nanti ke rumah deh kalo sempat.”

“Muhun, Kang.”

Beberapa saat kemudian sebuah kotak dialog muncul nenandakan proses burning berhasil selesai 100%. DVD pun keluar dengan sendirinya dari drive. “Nih beres,” sepupuku menyodorkannya padaku. Aku meraihnya, “Akhirnya slese juga,” lega aku.

“Ya udah Kak, aku pulang dulu.”

“Youw. Jangan lupa sampein salamku.”

Setiba di rumah, kunyalakan komputer miliknya yang bersistemkan Linux Ubuntu 10.10 a.k.a Maverick Meerkat dengan interface yang begitu indah daripada versi sebelumnya. Bikin betah. Tampilan sudah terbuka seutuhnya, ia ambil DVD dari tas yang ia bawa, memasukkannya ke dalam DVD Drive. Kursor ia arahkan ke media CD/DVD, mengkliknya. Terlihatlah beberapa folder yang bercokol di sana bernamakan group-group band ternama. Namun, ada sebuah folder yang sebelumya tak terlihat saat kali pertama dibuka di warnet. “Folder apaan lagi ini ‘4357EN’ seperti tulisan yang nampak di disk. Akh, paling juga band baru,” kataku sambil mengarahkan kursor ke file musik yang hanya satu-satunya berada di root, ‘Lets Play’ nama file itu.

Baru juga aku akan memutar lagu itu dengan mendouble-kliknya, di depan pintu rumah sepertinya ada yang ketuk pintu dan berucap salam. Segeralah aku ke sana membukakan pintu. “Kakak? Masuk, Kak. Saya tungguin dari tadi kok nggak muncul-muncul si kakak teh. Apa kabarnya Kak?” ucapku menyalaminya.

“Baik, dek. Kakak dan ponakan di Jakarta juga sehat. Kalo adik sendiri bagaimana nih?” tanya kakak iparku sambil melepas sepatunya.

“Ya, sama-samalah Kak,” jawabku.

“Dik, mungkin kakak nggak bakalan lama-lama, satu jam lagi mau langsung pergi. Ini kakak bawain laptop buat adik. Sok kalo mau di cobain dulu mah,” ucapnya dengan logat sunda yang masih kaku.

“Terima kasih, Kak. Mm, pake sistem operasi anyar ya. Windows 7 Home Edition. Ini original ato…”

“Original lah Dek. Bawaan dari sananya. OEM. Oh iya, uang bulanan Adek nanti kakak transfer secepatnya.”

“Nyantai aja Kak, buat semingguan mah masih ada, cukuplah. Ini minumnya, Kak.”

“Makasih. Cantik nih Windows 7. Namun belum begitu cinta kayaknya. Sampai saat ini masih setia sama XP saja.”

Kutinggal laptop baru itu. Aku melangkah menuju meja komputer, meng-close aplikasi pemutar musik yang sedari tadi belum ku-play. Kudekatkan kursor ke folder yang asing itu, “Aesten, Foresten. Foresten? Forest? Hutan? Hmm, cukup unik,” begitulah kumengeja sederet angka dan huruf 4357EN. Klik klik, kubuka folder tersebut, sejenak kupandang sebuah file tanpa extensi bernamakan sama seperti foldernya. “Ish, gede bener ni file, pantas saja tadi ngeburnnya lama pisan. File apa ini? File system kah?” celutik hatiku. “Kak, kalo file bersize gede bergiga-gigabyte itu biasanya berjenis file apa saja, berextensi apa?”

Kakakku langsung berkata, “Berapa giga?” tanyanya.

“Misalnya 3 sampe 5 gigaan lah,” jawabku sesingkatnya.

“Dalam satu file ya?” tanyanya kembali. “Iya, se-file,” aku mengiyakan.

“Mm. File sebesar itu biasanya berjenis file archive berakhiran ZIP, RAR, 7Z, dan lainnya. Atau juga berjenis image DVD semacam file ISO, IMG, NRG. Bisa juga semacam disk virtual, bentukan aplikasi virtual machine seperti Virtual Box, Windows Virtual Machine, VM Ware. Dan banyak jenis-jenis file lagi yang lainnya. Coba saja Googling,” ungkap kakakku menjelaskan.

“Apakah file office dan multimedia juga bisa segede itu?” tanyaku.

“Satu file office sih kayaknya tak mungkinlah segede itu. Tapi kalo video audio berkualitas tinggi tanpa kompresi, memungkinkan. Coba deh untuk extensi-extensi cek di openwith.org salah satunya.”

“Oh gitu ya Kak. Iya deh nanti cobain nyari lebih lanjut di sana.”

Aku beranjak dari tempat duduk dan mengeluarkan cakram DVD yang masih tertanam di komputer. Kuletakkan di atas CPU bersama buku yang tak berjilid. Kulihat kakakku mulai mengenakan kaus kakinya besiap hendak pergi.

“Kakak mau pulang sekarang?” tanyaku.

“Iya Dek. Takut keburu hujan. Kelihatannya langit mulai mendung tuh sebentar lagi mungkin akan menangis,” jawabnya.

Aku menengok keluar jendela, “Iya yah, mau menangis, bakalan dahsyat nih nangisnya.”

Kakakku mulai mengenakan sepatu sebelah kirinya, “Dik, Kakak pamit dulu. Hati-hati di rumah ya,” ucapnya.

Mesin sepeda motor menyala, menderu, menyeru tuk bersegera. “Iya Kak. Kakak juga hati-hati di jalan. Eh, lupa. Salam dari Kak Ardan katanya.”

Ia tersenyum sambil berkata, “Salam balik gituh ya. Entar kapan-kapan Kakak ke sana. Yuk, Dik.”

“Hati-hati, Kak!”

~~~

(Sebuah cerita lama yang tak kunjung terselesaikan)

Terima kasih telah menyimak.

Satu respons untuk “Cerita Fiksi: Aing Perlu Pisan Software!

Tinggalkan komentar