Survei LISS-CL menyatakan 99% Golput 1 % belum menentukan pilihan capres

Jangkarta (23/06/2014), Berdasarkan hasil survei tak berhasil yang dilaksanakan setelah menyaksikan beberapa debat capres-cawapres oleh Lembaga Independen Survey-Surveyan Cak Lontong (LISS-CL), mendapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari 100% putra putri indonesia, 99% menyatakan Golput, 1% belum menentukan pilihan.

2. Yang di survei sejumlah 100 putra putri pilihan yang suka berfoto sama si Selfie. Si Selfie cantik lho, gebetannya anak saya itu.

3. Kalo yang belum menentukan pilihan 1%, berarti 1 orang, bukan? Nah berapa coba sisa yang belum ditanya oleh saya? Bingung kan, pasti situ nggak bingung deh.

4. Yang menyatakan Golput ada 99 orang. Tapi, sekitar 45% dari 100 orang itu masih ragu-ragu ketika saya tanya ulang. Mengapa saya tanya ulang? Karena berdasarkan data dari guru mereka, 45% diremid alias ulangan susulan, jadi saya juga mengulangi pertanyaan survei saya.
Nah, pertanyaan point 3 terjawab sudah, berarti yang belum ditanya oleh saya berapa? 45 orang kah? benar 45 orang?
kalo agan menjawab 45, berarti jawaban agan salah. yang benar, jawabannya itu 0 alias nol. Kenapa 0, kan semuanya ditanya oleh saya. Gitu aja kok bingung. Diriku jangan bikin bingung aku deh. Sekali-kali kamu yang bikin bingung dirimu.

5. Sudah.

Tapi, ada ralat sedikit, tidak banyak, cukup lah.
Yang point 1 itu yang 1% itu tadi tersebut belum, yang benar seharusnya tidak, belum dan tidak itu berbeda kan?
Anak yang 1% itu tidak menentukan pilihan, menyerempet ke golput.

jadi kesimpulannya dari survey yang daku lakukan itu, semuanya 100% golput. Mengapa jadi seperti itu? Karena setelah saya cek, lihat-lihat data umur mereka itu kurang dari 17 tahun dan belum menikah, berarti tidak layak mengikuti Pemilihan Umum. Dan fakta lain adalah bahwa putra putri yang saya survey itu masih menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama. Berarti saya salah survei kalo begitu.

“Sekian~~

Golput

 

 

Gambar

Ingat Ya Anak TK!!

Gambar

Cerita Fiksi: Aing Perlu Pisan Software!

Cerita Fiksi: Aing Perlu Pisan Software!

By: _dzyemtri

#kilasan cerita

Berawal dari sebuah cakram DVD Double Layer yang dengan sengaja ditinggal pemiliknya di sebuah warung internet. Ditemukanlah DVD itu oleh seorang siswi SMA yang kemudian diberikan pada penjaga warnet tersebut. Dari sinilah sebuah cerita dimulai.

Di sana ada anak SMP kelas IX semester akhir yang biasa nongkrong di warnet itu. Ia tertarik dengan DVD yang diketemukan dimana berisikan file-file musik yg menurutnya menarik. Namun, apa yang terjadi, DVD yang semata dikiranya hanya berisikan file musik itu ternyata memuat sebuah data mencurigakan. Ia terlarut dalam rasa keingintahuan menggebu, memaksanya berpikir keras, bermain-main dengan insting dan logikanya.

Lalu apa yang sebenarnya?! Kita saksikan saja sama-sama.. Baca yow..!!

Baca lebih lanjut

Jejak-jejak bug Blogdetik.com 2 Februari 2013

Test ngeblog, tulas tulis nggak jelas. 😀

Cerita dikit ahh.. Sempat dikabarkan ditwit resminya @blogdetik.com

Ehh, beberapa jam kemudian maintenance lagi. Masih terdapat bug, user dapat menjadi author blog user lain tanpa seizin & sepengetahuan pemilik blog aslinya.

Untungnya saya sempat posting sebelum ditutup akses login dll, memposting puisi saya yang paling caem deh “Tinta Kertas tak Bernyawa” di laman blog tetangga. Penampakannya seperti berikut ini, buruan sebelum dihapus sama yang punya 🙂. Dan ini sisanya bisa ditengok di Google search.

Akhirnya pada malam hari tanggal tersebut dikabarkan oleh adminnya bahwa blog sudah dapat login kembali dan kita pun dapat segera melanjutkan nge-go-blog lagi. 😀

Sekian dulu ahh, permulaan ngeblog sambil mencari ide lain untuk dituliskan.

_dzyemtri

Pesona Negeriku, Kawan

Pesona Negeriku, Kawan

// Cerita Fiksi ini sempat saya kirim buat event #TulisNusantara 2012, namun sepertinya jauh dari tema. Silakan kalo mau baca. //

 “Ya, aku masih ingat.”

~ ~ ~

“Amih, Apih, mana kameranya? Ade mau foto-foto lagi nih!” aku lari tergesa-gesa dan hampir saja menginjak anak ayam tetangga.

“Cepetan Amih,” ucapku di depan pintu rumah sambil melempar tas yang kugendong itu ke kursi. Kuhampiri ayah dan ibu untuk mencium tangannya dan beruluk salam. Begitu kelakuanku setiap hari sepulang sekolah, teriak-teriak tak jelas dan meminta kamera.

“Sebentar, lagi diambilkan oleh kakak,” ibuku menenangkanku.

“Lho, kakak ngak sekolah?” tanyaku pada ibu.

“Kan kakak masih sakit, Dek,” jawab ibuku.

“Iya, Dek. Masih agak demam,” ucap kakak sambil memberikan kamera itu padaku, “Ini Dek, hati-hati yah.”

“Iya, Kak. Semoga cepet sembuh ya, Kak.”

“Iya, Adikku yang bandel.”

“Ya udah deh Ade maen dulu. Daah.”

Sesampai di daun pintu, “Eh, kelupaan, ganti seragamnya dulu ah biar gak kotor.”

Ibu dan ayah hanya senyam-senyum melihat tingkahku seperti itu.

“Jangan lupa makan dulu ya, Nak. Ya udah, Apih tinggal dulu mau lihat kebun.”

“Oke, Apih.” Aku pergi mengganti seragam SDku.

Hawa segar harum pedesaan, aroma renyah yang biasa kuhirup tatkala siang bercahaya mentari berpanas sedang. Riuh batang bambu menari, dedaunan pohon melayang terjun bebas tanpa parasut pengaman, bunga layu bermekaran berbisik nyanyian. Gerak itu, suara itu, citra itu membuat diri ini betah berdiam lama, nyaman berdekat alam.

Aku masih berdiri di atas tanah ini, berdiri di pekarangan dekat pohon cabe rawit yg baru bermekaran bunga ada satu dua yang sudah berbuah, ku potret ia. Ini baru permulaan. Baca lebih lanjut

Menjelajah Alam, katanya. – writers4indonesia

Menjelajah Alam, katanya. – writers4indonesia

Masih ingat dengan writers4indonesia waktu itu?

Beginilah tulisanku di writers4indonesia #empat.

cekidot..

~

Menjelajah Alam, katanya.

Aku bersama kawan sewaktu SD dulu dan masih sekampung pula. Tiba-tiba saja kami terseret ke dimensi lain seakan menjelajah mesin waktu seperti halnya dalam telenovela Amigos (mungkin, lupa lagi) yang sempat disiarkan salah satu tv swasta sekitar sebelasan tahun silam, dan rasa-rasanya pernah kutonton episode demi episodenya. Hm, jadi ngebahas telenovela, hahay, kembali ke cerita woy.
Hening memang, kami seperti berada di kota mati, tak ada candaan yang berarti menyapa kami. Sapaan anak-anak SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) seakan hambar, sepertinya ada sesuatu yang tersembunyi sengaja disembunyikan di balik mimik wajah mereka. Harus segera kucari tahu, walau memang aku ini bukanlah seorang Polisi ataupun Detektif, aku hanya alumni SMK itu meski hanya lima bulan saja aku di sana hingga belum tahu benar tentang sekolahan itu.
Berlanjut pada penelusuran yang tak sebegitu mendalam, di saku bajuku telah kukantongi satu nama, sebutlah saja ia Charinna. Sebuah nama yang mendadak menjadi tak boleh lagi disebut-sebut, diperbincangkan, diucapkan. Seperti halnya sosok Mary Shaw dalam film Dead Silence dengan seratus bonekanya itu.
“Gila, kok bisa sampai sedemikiannya,” ucapku mengheran.
“Memangnya ada apa dengan nama Charinna? Toh itu hanya sebatas nama saja kan?” ucapan kawanku seketika disambut awan hitam dan petir menggelegar memecut bumi. Baca lebih lanjut